Membahas persoalan Tuhan adalah wilayah yang sangat sensitive, hal ini dikarenakan diskusi serta proses pencarian Tuhan sejak zaman Adam AS, nabi Ibrahim AS yang disebut bapak theology bagi 3 agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) serta nabi akhir zaman baginda Muhammad SAW bagi agama Islam hingga datang masa yang sedang kita alami sekarang ini senantiasa terus tak habis-habisnya menjadi perbincangan actual bahkan banyak terjadi dialog, seminar ataupun simposium antar agama demi mencari sebuah kebenaran yang hakiki. Masing-masing agama mempertahankan kebenaran agamanya tentang Tuhan yang mereka sembah, ada yang berpendapat bahwa Tuhan itu Esa sedangkan agama hanyalah sebagai jalan menuju pertemuan umat manusia dengan Tuhannya artinya “banyak jalan menuju ke Roma” . mereka beranggapan bahwa esensi dan eksistensi dari Tuhan sebenarnya hanyalah satu akan tetapi penyebutan nama Tuhan versi masing-masing agamalah yang berbeda-beda misalnya Islam menyebut nama Tuhannya dengan sebutan A, Kristen dengan sebutan B serta Yahudi dengan sebutan D, demikian juga dengan Hindu, Budha, Kong Hu Cu serta agama-agama lainnya dengan sebutan yang bermacam-macam. Dengan pemikiran-pemikiran seperti itu ada orang beragama yang bersikap inklusif moderat terhadap agama-agama orang lain selain itu ada yang bersikap eksklusif fanatic terhadap agamanya dengan menganggap agamanyalah yang paling benar serta kepercayaan dan keyakinan orang lain adalah salah total.
Sikap inklusif eksklusif ini berpotensi terjadi pada agama manapun karena persoalan akidah adalah hal yang sangat prinsipil dalam kehidupan manusia. Orang dapat berfaham theology fundamentalis jika sangat fanatic terhadap agamanya serta orang dapat berfaham theology Liberal jika menganggap semua agama sama saja kebenarannya karena hanyalah persoalan jalan menuju Tuhannya, orang-orang seperti ini kadang menjalankan ibadah spiritualnya tanpa media rituaslitas agama. Inilah fenomena yang terjadi dewasa ini.
Banyak yang mengatakan bahwa Tuhan itu satu ada juga yang mengatakan bahwa Tuhan itu tunggal seperti yang tertuang dalam sila pertama pancasila mengenai kata “Esa” Tuhan dalam versi Islam dibahas dalam surah Al-Ikhlas ayat 1 s/d 4 yang menggambarkan keesaan Tuhan bahwa Tuhan itu Esa tempat bergantung kepada-Nya segala sesuatu dan Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan sehingga tidak ada sesuatupun yang dapat setara dengan Dia. Inilah konsep tauhidnya Islam bahwa Tuhan itu bersifat Tunggal dalam sifatnya Muhalafatulilhawadihi (berbeda dengan semua makhluk).
Perbedaan mendasar antara konsep tunggal dan konsep satu dalam pembahasan ini adalah kalau sesuatu yang bersifat tunggal maka sesuatu itu tidak tersusun dari sesuatu yang lain, namun jika sesuatu itu kita sebut sebagai satu maka tentunya dapat tersusun dari sesuatu yang lain misalnya 1 didapat dar ½+1/2 atau 1 didapat dari 0,5+0,5 bisa juga 0+1 ataupun satu itu bisa menjadi banyak ketika ditambah satu yang lain sehingga dapat menjadi 2, 3, 4, 5 dan seterusnya. Apakah mungkin sesuatu yang dapat tersusun dari sesuatu yang lain layak menyandang predikat Tuhan? Tentu tidak mungkin kan? Mungkin inilah yang menurut term berfikirnya Prof. Dr. Nurcholis Madjid dalam mendefenisikan makna dari kalimat Tauhid “La Ilahaillallah” bahwa tidak ada tuhan selain Tuhan. Sesuai defenisi ini maka beliau membagi 2T disini yakni “t” yang pertama adalah “t” yang kecil dan “T” yang kedua adalah “T” yang besar sehingga kita harus menafikan “t” yang pertama karena merupakan tuhan-tuhan kecil seperti wanita, harta, tahta dan sebagainya yang berpotensi menjadi tuhan-tuhan kecil dalam hidup manusia. Sedang kan T yang kedua merupakan penegasan bahwa hanya ada Tuhan yang tunggal yakni Tuhan Yang Maha Esa (Tunggal). Sehingga kesimpulan dari persoalan ini adalah Tuhan hanya bisa dikatakan sebagai tunggal (Esa) dan tidak dapat dikatakan sebagai Tuhan yang satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar